Penalaksanaan Syok Sepsis



 PENATALAKSANAAN SYOK SEPSIS

1.    Pengertian
Sepsis merupakan penyebab kematian terbanyak pada anak dengan sakit kritis. Dengan menggunakan kriteria WHOuntuk sepsis berat yaitu sepsis dengan asidosis, hipotensi ataupun keduanya, maka pada tahun 1995 terdapat lebih dari 42.000 kasus sepsis berat pada anak di Amerika Serikat dengan angka kematian 10,3%. Untuk mengurangi angka kematian tersebut, dibuatlah suatu pedoman penatalaksanaan syok septik berbasis bukti yaitu early goal directed therapy (EGDT).


Early goal directed therapy adalah suatu strategi komprehensif untuk mengevaluasi pasien syok septik terdiri dari beberapa tugas yang harus dimulai sejak awal dengan cepat, dan harus lengkap dalam 6 jam pertama setelah timbulnya sepsis berat ataupun syok septik. Early goal directed therapy terdiri dari resusitasi cairan, pemberian antibiotika, pemberian vasopressor, mengukur saturasi oksigen vena sentral, tranfusi PRC, pemberian inotropik, dan ventilasi mekanik yang dapat dilakukan sejak awal sepsis ditemukan dan sebelum pasien masuk ruang terapi intensif, karena jika resusitasi tertunda sampai terjadi disfungsi organ, maka segala hal yang dilakukan untuk meningkatkan kadar oksigen sel akan menjadi tidak ada gunanya. [MEDICINA. 2012;43:108-13].

2.    Early Goal Directed Therapy (EGDT)
Early goal directed therapy pertama kali diperkenalkan oleh River dkk5 yang melakukan suatu penelitian randomisasi terkontrol dan tersamar yang menunjukkan bahwa dengan menangani sepsis berat dan syok septik secara agresif, cepat dan terarah di ruang gawat darurat akan menghasilkan luaran yang lebih baik. Early goal directed therapy diterapkan pada pasien sepsis berat dengan disfungsi kardiovaskuler (syok septik) yang refrakter terhadap pemberian resusitasi cairan (Gambar 1).

Inti EGDT pada syok septic adalah memantapkan penghantaran oksigen pada pasien yang mengalami hipoksia jaringan global yang dilakukan pada tahap awal dengan cara mempertahankan tekanan vena sentral (central venous pressur; CVP) adekuat untuk memperbaiki keadaan hemodinamik, dan memaksimalkan saturasi oksigen vena sentral 5 (Gambar 2). Penelitian EGDT oleh River dkk5 tersebut dilakukan pada bagian gawat darurat rumah sakit tingkat tiga dengan kapasitas 850 tempat tidur selama periode 3 tahun dengan subyek 263 pasien dan terbagi secara sama antara 2 kelompok. Sebelum dirawat di Intensive Care Unit (ICU), pasien dirandomisasi untuk menerima terapi standar, ataukah EGDT selama 6 jam. Kelompok kontrol diberikan tatalaksana sesuai protokol hemodynamic support . Tujuan yang ingin dicapai oleh protokol EGDT adalah pasien memiliki tekanan vena sentral antara 8-12 mmHg, rata-rata tekanan arteri (mean arterial pressure ; MAP ) > 65 mmHg, dan produksi urin > 1mL/kg berat badan/ jam.

Selama 6 jam awal, pasien yang mendapatkan EGDT menerima lebih banyak cairan intravena (5,0 vs. 3,5 L, P < 0,001) dan tranfusi sel darah merah (P < 0,001) serta inotropik (P < 0,001). Sedangkan pada 6 jam berikutnya kelompok control mendapatkan lebih banyak tranfusi sel darah merah ( P < 0,001 ) , lebih banyak memerlukan vasopressor (P = 0,03) dan memerlukan lebih banyak ventilasi mekanik ( P < 0,001). Angka mortalitas pada kelompok kontrol secara signifi kan lebih tinggi dibandingkan kelompok EGDT (46,5% vs. 30,5% ; P = 0,009). Perbedaan ini bertahan sampai hari ke-28 dan hari ke-60. Hal ini mencerminkan bahwa resusitasi awal pada kelompok kontrol tidak efektif.
  
CVP = Central Venous Pressure (tekanan vena sentral) ; MAP = Mean Arterial Pressure (rata – rata tekanan arteri) ; ScvO2 = Central venous saturation (saturasi vena sentral) ; PRC = Packed red cell meningkatnya kecepatan metabolisme dan abnormalitas perfusi. Sebagai konsekuensinya, terjadi ketidakseimbangan antara ketersediaan oksigen jaringan dengan kebutuhan, yang menyebabkan (sel darah merah yang dimampatkan); Hct = Hematokrit Protokol EGDT dimulai dengan bolus 20 mL/kg bb kristaloid atau koloid diberikan dalam kurun waktu 30 menit untuk mencapai CVP 8-12 mmHg.

Jika MAP kurang dari 65 mmHg, diberikan vasopressor, dan MAP yang lebih dari 90 mmHg, diberikan vasodilator sampai mencapai 90 mmHg atau kurang. Jika saturasi oksigen vena sentral (ScvO2) kurang dari 70 % dan kadar hematokrit < 30%, diberikan sel darah merah yang dimampatkan ( Packed Red Cell ; PRC). Apabila setelah diberikan tranfusi PRC kadar ScvO2 masih < 70%, diberikan inotropik dobutamin mulai dengan dosis 2,5μg/kgbb per menit. Dosis tersebut dapat dinaikkan 2,5 μg/kgbb per menit setiap 30 menit sampai ScvO2 mencapai 70 persen atau lebih atau sampai dosis maksimal 20 μg/kgbb per menit. Dosis dobutamin diturunkan ataupun dihentikan jika MAP kurang dari 65 mmHg atau jika denyut jantung diatas 120 kali per menit. Untuk mengurangi konsumsi oksigen, pasien dengan kondisi hemodinamik yang belum optimal diberikan ventilasi mekanik dan sedatif.

3.    Mekanisme Dasar diterapkannya EGDT
Sepsis tahap awal ditandai dengan insufi siensi sirkulasi yang berakibat pada hipovolemia, depresi miokardium, hipoksia jaringan global dan syok. Gagal sirkulasi mengakibatkan penurunan hantaran oksigen (DO2) ke jaringan dan disusul dengan berkurangnya tekanan oksigen parsial sel (PO2). Jika sampai pada titik kritis, berkurangnya oksigen akan mengakibatkan terbatasnya fosforilasi oksidatif, sehingga metabolisme bergeser dari aerob menjadi anaerob. Metabolisme anaerob akan menghasilkan laktat. Penggunaan kadar laktat ≥ 4mmol/L sebagai marker hipoperfusi jaringan yang berat dan sebagai prediktor univariat kematian didukung oleh beberapa penelitian. Pengukuran kadar laktat mempunyai keterbatasan yaitu interpretasi kadar laktat serum kadang tidak mudah. Peningkatan kadar laktat tidak hanya karena hipoperfusi umum tetapi bisa juga karena kegagalan metabolik seluler yang terjadi pada sepsis. Peningkatan kadar laktat bisa juga terjadi karena menurunnya fungsi bersihan hati.

Delivery Oksigen ( DO2 ) bergantung pada 2 variabel yaitu kandungan oksigen darah arteri (oksigen content ; CaO2) dan curah jantung (Cardiac Output ; CO). CaO2 tergantung pada kadar hemoglobin (Hb), saturasi oksigen arteri (SaO2), dan kapasitas angkut oksigen dari hemoglobin. Curah jantung bergantung pada detak jantung (Heart Rate ; HR) dan isi sekuncup ( Stroke Volume ; SV), yang ditentukan oleh kontraktilitas miokard, preload, serta afterload.

Pada anak, curah jantung lebih bergantung pada detak jantung dibanding dengan isi sekuncupkarena miokard belum matur. Kebutuhan oksigen total tubuh (VO2) bergantung dari penghantaranoksigen dan rasio ekstraksi oksigenjaringan dengan perhitungan sebagai berikut : VO2 =  DO2  x ERO2(oxygen extraction ratio).

Pada kondisi normal, kebutuhan oksigen setara dengan DO2 dengan ERO2 kira-kira 25 %, yang artinya 25 % dari energi yang dibawa akan diambil oleh jaringan, sedangkan 75 % akan kembali keparu. ERO2 berbanding terbalikdengan saturasi oksigen vena (SvO2), yang perlihatkan dalam persamaan berikut : SvO2 =  1  ERO2

Pada syok septik ada interaksi yang kompleks antara vasodilatasi patologis, hipovolemia relatif maupun absolut, depresi miokard akibat sepsis, serta perubahan distribusi aliran darah, yang terjadi akibat respon radang terhadap infeksi. Saat terjadi syok septik, kebutuhan oksigen jaringan meningkat dan terjadi gangguan ekstraksi oksigen. Bila kebutuhan meningkat, DO2 harus menyesuaikan. Jika DO2 berkurang, maka VO2 dipertahankan dengan cara meningkatkan ERO2. Namun jika DO2 terus menurun, akan dicapai titik kritis sehingga ERO2 tidak bisa lagi meningkat untuk mengkompensasi penurunan DO2, terjadilah hutang oksigen dan hipoksia jaringan. Pada gambar 3 terlihat penghantaran oksigen ke jaringan dapat ditingkatkan dengan meningkatkan curah jantung, konsentrasi hemoglobin plasma, dan saturasi oksigen arteri. Intervensi untuk meningkatkan curah jantung adalah resusitasi cairan untuk optimalisasi qsfmpbe, pemberian inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas jantung, dan pemberian vasopressor (terkadang vasodilator), untuk optimalisasi afterload.
a.    Resusitasi Cairan
Pasien dengan sepsis berat dan syok septik mengalami sirkulasi arteri yang tidak efektif sehingga perfusi jaringan menjadi tidak baik. Hal ini disebabkan oleh vasodilatasi yang berhubungan dengan infeksi maupun cardiac output yang terganggu. Perfusi yang buruk menyebabkan terjadinya hipoksia jaringan global, yang berhubungan dengan meningkatnya kadar laktat serum. Resusitasi sepsis tahap awal adalah pemberian cairan kristaloid 20 ml/kg secepatnya sebagai bolus pada kasus hipovolemia. Definisi bolus cairan harus memenuhi persyaratan berupa tipe cairan yang diberikan kristaloid ataupun koloid, waktu pemberian harus cepat, ada tujuan akhir yang ingin dicapai. Tanda-tanda kelebihan cairan saat resusitasi harus diperhatikan seperti edema periorbita, ekstremitas, rales, dan kesulitan bernapas. Monitoring yang paling obyektif adalah dengan memperhatikan CVP. Nilai normal CVP adalah 8-12 mmHg. Koloid yang ekuivalen dapat juga diberikan dengan dosis 0,2 g/kgbb sampai 0,3 g/kgbb tergantung jenis koloid. Terdapat pertanyaan apakah dipilih kristaloid atau koloid. Penelitian yang dilakukan oleh Simon Finfer dkk, yang tergabung dalam SAFEstudy, membandingkan antara pemberian albumin 4 % dengan kristaloid pada resusitasi pasien syok septik, ternyata tidak didapatkan perbedaan bermakna pada angka kematian di kedua kelompok. Pada subgroup analisisnya, dikatakan bahwa albumin dapat memberikan manfaat lebih pada pasien sepsis, meskipun angkanya tidak bermakna. Resusitasi cairan harus diberikan sedini mungkin, dan kebutuhan cairan yang diperlukan tidak mudah untuk ditentukan, sehingga pengulangan pemberian perlu dilakukan dan dilakukan monitoring dengan pemasangan CVP.

b.    Pemberian Antibiotik
Saat sepsis berat telah teridentifi kasi, antibiotik harus diberikan sedini mungkin untuk mengobati infeksi yang mendasari. Antibiotik yang diberikan adalah kombinasi antara antibiotik untuk gram positif dan negatif, serta didasari oleh pola kuman di rumah sakit maupun di masyarakat.13 Penelitian yang dilakukan oleh Bochud dkk  tahun 2004 menunjukkan bahwa monoterapi lebih baik dibandingkan terapi kombinasi. Sebelum ada hasil biakan daerah dan resistensi, pasien diberikan antibiotik spektrum luas, tetapi jika telah ada hasil biakan daerah, maka antibiotik harus disesuaikan sesegera mungkin, untuk mencegah terjadinya resistensi dan pemborosan. Pemberian antibiotik harus selalu dinilai dalam waktu 48-72 jam.

c.    Pemberian Vasopressor
Jika pemberian bolus cairan gagal untuk mempertahankan perfusi organ dan tekanan arteri yang adekuat, maka agen vasopressor  harus segera diberikan untuk mempertahankan MAP > 65 mmHg. Syaratnya adalah pemberian cairan resusitasi telah adekuat.10,16,17 Perhitungan MAP adalah sebagai berikut:
MAP = ( S + 2D) : 3 ( S = sistolik ; D = diastolik)
 


Karena hipotensi adalah gambaran utama dari syok septic dan perbaikan tekanan darah adalah tujuan terapi, maka pengukurantekanan darah yang akurat dan terus menerus menjadi sangat penting, sehingga perlu dilakukan pemasangan kateter arteri untuk memungkinkan monitoring tekanan darah.
Dopamin ataupun norepinefrin yang diberikan melalui kateter vena sentral sesegera mungkin adalah pilihan utama agen vasopressor  untuk mengkoreksi hipotensi pada syok septik. Dopamin merupakan precursor alami norepinefrin dan epinefrin serta memiliki beberapa efek farmakologi yang tergantung dosis (Tabel 1). Dopamin meningkatkan MAP dengan cara meningkatkan Cardiac index dengan efek resistensi vaskuler sistemik yang minimal.  Peningkatan cardiac index akibat meningkatnya isi sekuncup dan meningkatnya detak jantung. Meskipun demikian dopamin dapat mengurangi pH, hal ini dihubungkan dengan berkurangnya aliran darah ke mukosa gaster, sehingga pCO2 gaster meningkat.
Norepinefrin adalah agonis adregenic yang poten. Norepinefrin dapat meningkatkan resistensi vaskuler sistemik karena memiliki efek vasokonstriksi, dengan perubahan minimal pada detak jantung dan cardiac output.  Norepinefrin merupakan vasopressor  ideal pada syok hangat, dimana cardiac output normal atau meningkat, tapi disertai hipotensi dan takikardi, dengan ekstremitas hangat. Dosis norepinefrin dapat dilihat pada Tabel 1.
Epinefrin atau fenilefrin sebaiknya tidak diberikan sebagai pilihan utama karena mengurangi aliran darah splanchnic, meningkatkan produksi CO2 mukosa gaster, dan menurunkan pH.




Tabel 1 :

d.   Pengukuran Saturasi Vena Sentral
Telah lama diketahui bahwa penghantaran oksigen yang tidak adekuat berakibat pada meningkatnya pengambilan oksigen oleh jaringan dan berakibat pada rendahnya saturasi campuran oksigen vena (SmvO2) pada arteri pulmonalis.3 Saturasi oksigen vena sentral yang diukur pada vena cava (ScvO2) berhubungan dengan penghantaran oksigen, dan dapat digunakan sebagai standar pengukuran yang reliable untuk penghantaran oksigen jaringan yang adekuat selama resusitasi.3 Kadar ScvO2 yang ditargetkan adalah > 70 %. Angka 70% ini berasal dari jumlah oksigen yang kembali ke paru, karena sejumlah 30% telah diekstraksi oleh jaringan.7 Meningkatnya pengambilan oksigen, atau menurunnya saturasi vena sentral (ScvO2) merupakan salah satu parameter yang menunjukkan bahwa telah terjadi suatu mekanisme kompensasi untuk mengatasi ketidakseimbangan antara penghantaran oksigen dengan kebutuhan oksigen jaringan.
e.    Transfusi Packed Red Cell
Salah satu kunci tatalaksana EGDT adalah menjaga saturasi oksigen vena sentral agar mencapai target. Jika pasien dengan hipovolemia dan anemia, dengan kadar hematokrit kurang dari 30% dari volume darah, diberikan tranfusi sel darah merah yang dimampatkan. Hal ini memiliki dua keuntungan yaitu meningkatkan penghantaran oksigen ke jaringan yang hipoksia, dan menjaga tekanan vena sentral # 8 mmHg untuk jangka waktu yang lebih lama, dibandingkan dengan hanya pemberian cairan saja.Meskipun penyebab takikardi padapasien sepsis mungkin multifaktorial, terjadinya penurunan denyut jantung dengan resusitasi cairan sering merupakan pertanda membaiknya pengisian intravaskuler.
f.     Pemberian Inotropik
Pada EGDT, dobutamin direkomendasikan jika didapatkan adanya hipoperfusi jaringan (ScvO2 < 70%), dengan syarat CVP, hematokrit dan MAP telah dikoreksi terlebih dahulu dan mencapai nilai normal.
Pada beberapa kasus, Cardiac Output sendiri dapat berkurang karena sepsis yang menginduksi disfungsi kardia. Pada kasus ini diberikan dobutamin (dosis dapatdinaikkan sampai maksimum 20μg/kg/menit) untuk meningkatkan penghantaran oksigen ke perifer dan mencegah disfungsi organ lebih jauh yang disebabkan hipoperfusi dan iskemia. Jika pemberian dobutamin menyebabkan terjadinya hipotensi, disarankan penggunaan norepinefrin untuk melawan efek vasodilatasi dobutamin.



DAFTAR PUSTAKA

Widyanti Ayu, dkk : 2012. Early Directed Goal Theraphy Pada Syok Sepsis. FK Universitas Udaya/ RSUD Sanglah : Denpasar

Comments